Wednesday 26 March 2014

Muslim dulu dan muslim kini


Iman yang Produktif
Perbedaan mendasar antara generasi Islam masa kini dengan
generasi pertama Islam adalah proses masuknya mereka ke dalam
Islam. Generasi muslim masa kini umumnya lahir dari kedua
orang tua dan lingkungan muslim. Hanya saja, lingkungan itu
belumlah merefleksikan kehidupan Islam yang hakiki. Ibarat mobil,
kehidupan umat Islam hari ini bagai mobil tua yang bobrok.
Bodinya jauh dari mulus, mesinnya pun sering trouble. Kurang
bisa diandalkan.
Adapun generasi Islam di masa sahabat dibangun oleh Rasulullah
saw. dari nol. Dari kalimat tauhid yang dipancarkan di antara
ribuan berhala kota Makkah. Di antara dominasi paganisme,
kejahiliyahan, dan fanatisme qabilah, Rasulullah saw.
memproklamirkan kalimah Lailahaillallah Muhammad Rasulullah.
Sehingga generasi bentukan beliau saw. adalah generasi baru
dengan keimanan yang baru, yang masih murni. Ibarat mobil,
mereka adalah mobil baru, bahkan mobil baru yang sangat
istimewa, yang siap menempuh perjalanan panjang, sekalipun
medan perjalanan yang sukar dan berliku.
Gairah hidup baru mereka peroleh tatkala mereka melaksanakan
sholat dan membaca Al Quran serta mengikuti penjelasan-
penjelasan dari baginda rasulullah saw. Allah SWT mengabadikan
proses pembinaan yang beliau saw. lakukan terhadp generasi
pertama kaum muslimin itu dalam firman-Nya:
َﻮُﻫ ﻱِﺬَّﻟﺍ َﺚَﻌَﺑ ﻲِﻓ َﻦﻴِّﻴِّﻣُﺄْﻟﺍ ﺎًﻟﻮُﺳَﺭ ْﻢُﻬْﻨِﻣ ﻮُﻠْﺘَﻳ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ ِﻪِﺗﺎَﻳﺍَﺀ ْﻢِﻬﻴِّﻛَﺰُﻳَﻭ
ُﻢُﻬُﻤِّﻠَﻌُﻳَﻭ َﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ َﺔَﻤْﻜِﺤْﻟﺍَﻭ ْﻥِﺇَﻭ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ ْﻦِﻣ ُﻞْﺒَﻗ ﻲِﻔَﻟ ٍﻝﺎَﻠَﺿ ٍﻦﻴِﺒُﻣ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (QS. Al
Jumu’ah 2).
Hasilnya, generasi pertama umat ini menjadi pribadi-pribadi yang
Islami, memiliki cara berfikir Islami dan pola sikap jiwa Islami.
Sehingga sanggup melaksanakan kewajiban-kewajiban agama
Islam, baik tugas individual mereka masing-masing, maupun tugas
kolektif mereka sebagai jamaah kaum muslimin. Bahkan untuk itu
mereka siap mengerahkan seluruh potensi yang mereka miliki,
waktu, tenaga, harta, bahkan jiwa sekalipun. Kenapa demikian?
Rahasia iman para sahabat
Iman para sahabat adalah aqidah Islam yang benar, bukan iman
warisan yang sekedar mengikut tradisi tetua. Sebelum masuk
Islam, mereka harus berfikir keras untuk mengambil sikap,
menerima atau menolak Islam dengan segala konsekuensinya. Akal
mereka tak bisa dibohongi. Naluri mencari Tuhan yang hakiki,
menemukan sesembahan yang benar, yakni Allah Pencipta langit
dan bumi. Kesadaran mereka menyingkap kepalsuan semua
berhala yang selama ini mereka sembah. Mereka memahami
firman Allah:
َّﻥِﺇ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻥﻮُﻋْﺪَﺗ ْﻦِﻣ ِﻥﻭُﺩ ِﻪَّﻠﻟﺍ ْﻦَﻟ ﺍﻮُﻘُﻠْﺨَﻳ ﺎًﺑﺎَﺑُﺫ ِﻮَﻟَﻭ ﺍﻮُﻌَﻤَﺘْﺟﺍ ُﻪَﻟ ْﻥِﺇَﻭ ُﻢُﻬْﺒُﻠْﺴَﻳ
ُﺏﺎَﺑُّﺬﻟﺍ ﺎًﺌْﻴَﺷ ﺎَﻟ ُﻩﻭُﺬِﻘْﻨَﺘْﺴَﻳ ُﻪْﻨِﻣ َﻒُﻌَﺿ ُﺐِﻟﺎَّﻄﻟﺍ ُﺏﻮُﻠْﻄَﻤْﻟﺍَﻭ
“…Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka
bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali
dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah
(pulalah) yang disembah” (QS. Al Hajj 73).
Mereka paham bahwa agama dan ideologi baru itu akan
berhadapan dengan mainstream masyarakat Mekkah, masyarakat
Arab, bahkan masyarakat dunia yang masih jahiliyah. Namun
risalah dari Dzat Yang Maha Agung telah membangunkan jiwa dan
membangkitkan akal fikiran mereka. Mereka menghadapi dunia
dan berbagai tantangannya dengan penuh optimis. Merekapun
sadar, iman belum terbukti sahih kalau belum mendapat ujian
dan resiko.
Maka dalam interaksi dengan masyarakat Quraisy dalam dakwah
dan pergolakan pemikiran yang mereka lancarkan, dengan penuh
kesabaran mereka menghadapi penghinaan, penganiayaan,
pemboikotan, dan pengusiran, bahkan pembunuhan. Itulah
pembinaan mental bagi orang-orang yang dilahirkan untuk
mengubah dunia, yang bangkit dari lumpur kejahiliyahan lalu
dibersihkan dan disucikan dengan cahaya risalah langit yang
membuat mereka menjadi makhluk-makhluk yang baru yang siap
memimpin dunia. Wajarlah mereka dapat menaklukkan Persia dan
mengalahkan Rumawi.
Lihatlah kesiapan mental mereka dalam berbagai pertempuran
luar biasa. Abdullah bin Rawahah r.a., Panglima Perang Mu’tah,
mengobarkan semangat dan membekali mental para mujahid yang
jumlahnya cuma 3000 orang dalam persiapan perang melawan
tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang: “Wahai kaum,
demi Allah, sesungguhnya perkara yang tidak kalian sukai tatkala
kalian keluar dalam jihad fi sabilillah, adalah mencari syahadah
(mati syahid). Kita tidak memerangi manusia dengan kekuatan dan
banyaknya personil pasukan, tapi kita memerangi mereka hanya
dengan agama (Islam) ini yang Allah telah memuliakan kita
dengannya. Maka dari itu, berangkatlah kalian. Karena
sesungguhnya, (hasil perjuangan dan pertempuran kalian)
hanyalah satu di antara dua kebajikan, menang atau mati
syahid” (lihat Ibnu Katsir, ibid, Juz III, hal 428).
Sejarah juga mencatat, rahasia keunggulan kaum muslimin yang
diakui oleh Heraclius, sebagaimana dialog Kaisar Rumawi ini
dengan pasukannya.
Kaisar berkata: “Celaka kalian, beritahukanlah padaku tentang
mereka, orang-orang islam yang memerangi kalian itu, bukankah
mereka manusia seperti kalian?”
Mereka menjawab: “Benar”.
Kaisar berkata lagi: “Jumlah kalian yang lebih banyak atau jumlah
mereka?”.
Mereka menjawab: “Bahkan jumlah kami lebih banyak dalam
semua medan tempur”. Kaisar bertanya: “Kalau begitu, mengapa
kalian bisa kalah?”.
Maka seorang tua dari kalangan pembesar mereka menjawab:
“Karena sesungguhnya mereka –tentara Islam itu—mengerjakan
sholat di waktu malam, berpuasa di siang hari, dan mereka
menepati janji, memerintah kepada yang makruf, mencegah dari
yang mungkar, dan saling membagi di antara mereka (tidak
mementingkan diri sendiri). Sedangkan kita –tentara Rumawi--
kalah karena sesungguhnya kita gemar minum minuman keras
(khamr), berbuat zina, suka melakukan yang haram, melanggar
janji, gampang marah, berbuat zalim, memerintah dengan
kekerasan (represif), mencegah dari apa yang Allah ridlai serta
berbuat kerusakan di muka bumi”.
Maka kaisar Heraclius pun berkata kepada orang tua itu: “Engkau
telah membuat aku percaya bahwa kita memang pantas kalah”.
(lihat Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam, hal 44).
Keunggulan dalam sikap dispilin serta moral sebagai prajurit
bukan sekedar disiplin biasa, tapi disiplin yang lahir dari suatu
dorongan ideologis yang luar biasa. Sebelum terjadinya
pertempuran dalam Perang Qadisiyyah, Panglima Rustum,
panglima perang negara adidaya Persia, bertanya kepada tiga
utusan kaum muslimin, Rabi’ bin Amir, Hudazifah bin Mihshan,
dan Mughirah bin Syu’bah, apa motivasi mereka datang ke Persia?
Ketiga utusan itu menjawab: “Seusungguhnya Allah telah
mengutus kami untuk membebaskan siapa saja dari perbudakan
manusia agar menghamba kepada Allah Yang Esa, dan dari
kesempitan dunia kepada keluasannya, dan daripada
penyimpangan semua agama kepada keadilan islam. Maka Allah
telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa din-Nya, kepada
seluruh makhluk-Nya. Maka siapa saja yang menerima din ini dari
kami, akan kami terima darinya dan kami akan kembali
daripadanya, dan kami akan meninggalkan dia dengan tanah
airnya. Akan tetapi, siapa yang menolak akan kami perangi sampai
kami Surga atau mendapatkan kemenangan” (lihat Nasution, idem,
hal 28).
Bagaimana membuat Iman produktif?
Pertama, periksa kembali keyakinan kita kepada Allah SWT. Apakah
kita beriman hanya mengikuti orang tua dan umumnya
masyarakat? Jika itu, maka kualitas iman kita akan tergantung
kecenderungan umum. Kalau umumnya iman kaum muslimin hari
ini mandul, mandul pula iman kita. Maka yang harus ditempuh
adalah, mengkaji kembali darimana keyakinan kita kepada Allah
SWT kita peroleh. Kita mesti bertanya: Kita hidup ini dari mana?
Mau kemana? Siapa yang menciptakan kita? Apa pula kehendak-
kehendak-Nya? Setelah mati, bagaimana kesudahan kita? Yakni,
apakah sudah selesai dengan mati ataukah masih ada sesuatau,
yaitu kita akan kemana? Jika kita akan kemana? Apa pula
konsekwensi yang akan kita hadapi?
Kedua, untuk mempertebal iman kita, mengoptimalkan daya fikir
kita, dan mensucikan hati kita, agar kita senantiasa ingat,
bersyukur, berfikir, bertaqwa, dan mendapat hidayahnya, kita
perlu membaca ayat-ayat Al Qur’an yang mengajak kita berfikir,
misalnya QS. Ali Imran 190-191, Ar Ruum 20-25, Ghafir[40] 13,
Fushilat 37-39, dll. Dan Allah SWT telah pastikan bahwa binatang
yang paling jelek di sisinya adalah mereka yang tidak mau berfikir
dan beriman kepada-Nya sebagaimana firman-Nya pada QS. Al
Anfal 22 dan 55.
Ketiga, membaca ayat-ayat yang mengaitkan antara iman dan amal
sholih sebagai konsekuensi keimanan, yang sekaligus menunjukkan
bahwa iman itu produktif, misalnya: Qs. Al Baqoroh 3-4, 82,143,
153, 177, 178, 277, 278, Ali Imran 28, 100, 102-103, 173, 200, An
Nisa 2


Posted via Blogaway

No comments: