Dialog Ikhwan (Sok) Stabil Dengan Ikhwan (Agak) Labil
19/4/2012 | 27 Jumada al-Ula 1433 H | Hits: 4.728
Oleh: Deddy Sussantho “Assalamu’alaikum. Gimana kabarnya, Akhi?”
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah, akh. Tetap berseri sebagaimana mentari di pagi hari. By the way, ada apa nih, akh? Tumben-tumbennya mukanya kusut begitu.”
“Muka ane emang begini, akh.”
“Betul juga. Terus ada apa, akh?”
“Sebenarnya ane pengen minta tolong sama Ente.”
“Minta tolong apa? Sebagai saudara, ane pasti bantu kalau Ente punya masalah.”
“Ane pengen curhat. Sebetulnya bukan masalah ane, tapi masalah umat.”
“Owalah. Berat amat. Emang masalahnya apa?”
“Itu loh, sekarang saudara-saudara kita udah pada pindah jamaah!”
“Huaapaaa, yang boneenng? Eh, yang bener? Pindah gimana maksudnya?”
“Sekarang mereka jadi jamaah Facebookiyah.”
“Halah, kirain apaan.”
“Tapi ane serius, akh.”
“Muke lu jauh!”
“Ya sudahlah. Kok jadi ngomongin muka lagi sih, akh?”
“Betul juga.”
“Hm, begini. Sebagai ikhwan yang militan dan tak takut sama setan, ane cukup prihatin sama saudara-saudara kita itu.”
“Dan ane, sebagai ikhwan romantis yang optimis, cukup bingung dengan obrolan kita hari ini. Sebetulnya Antum mau ngomong apa sih, akh?”
“Bagaimana ane tidak kuatir. Makin hari saudara-saudara kita lebih aktif di dunia maya (Facebook) ketimbang hadir pada agenda-agenda di dunia nyata.”
“Ya mungkin mereka sibuk. Wajarlah, mereka kan para aktivis yang begitu padat akan agenda.”
“Kalau padat agenda, kok masih sempatnya Facebook-an?”
“Itu dia kehebatan mereka.”
“Ente masih ingat dengan wacana lama tentang Facebook buatan ‘Yahoo-di’?”
“Masih.”
“Bagaimana pendapat Ente saat itu?”
“Ane sih sah-sah saja ya. Meski dikabarkan sebagian besar keuntungan itu untuk pembiayaan perang melawan Palestina dan sebagainya, ane tetap stay cool dan nggak terlalu parno sama wacana itu. Toh, jika kita gunakan untuk dakwah akan sangat efektif dampaknya.”
“Yuups, sepakat ane dengan Ente.”
“Tapi mukanya biasa aja dong.”
“Tuh kan bahas muka lagi.”
“Betul juga.”
“Hm, waktu itu emang banyak saudara-saudara kita yang dilematis karena isu itu. Dan nggak sedikit yang akhirnya menutup akun Facebook mereka loh.”
“Ya bagus. Mungkin itu adalah tindakan preventif mereka dalam menghadapi yang syubhat tersebut.”
“Tapi bagi mereka yang berpandangan bahwa Facebook itu sangat potensial untuk dakwah, mereka akhirnya tetap menggunakan Facebook.”
“Betul. Bagaimanapun Facebook atau media sosial lainnya adalah sarana efektif dalam berdakwah. Coba bayangkan, kalau kita punya teman di Facebook itu ada 2000 orang, dan semuanya merasakan sentuhan dakwah kita. Wuih, mantap dah tuh. Jadi MLP!”
“Apaan tuh MLP?”
“Multi Level Pahala. Hehe.”
“Memang! Apalagi sekarang juga ada Twitter, di mana kalau kita nge-twet sekali, itu akan tersebar ke seluruh teman-teman yang follow kita. Kalau yang follow kita ada satu juta orang, terus kita nge-twet tentang suatu kebaikan, sebanyak itu pula yang mendapat manfaat dari kita.”
“Luar biasa, ya. Marketing dakwah yang efektif.”
“Memang.”
“Omong-omong, Ente punya akun Twitter?”
“Enggak.”
“Yee… jangan ngomong kalo gitu.”
“Abis ane nggak ngerti cara pakainya sih. Hehe.”
“Gaul dong makanya.”
“Ente punya?”
“Enggak.”
“Yee, ‘kaburomaqtan’ juga Ente…”
“By the way, kalau diperhatikan sekarang-sekarang ini malah banyak dari saudara-saudara kita yang sudah tidak membawa semangat tersebut.”
“Semangat apa?”
“Ya semangat ber-Facebook untuk dakwah itu.”
“Ooh…”
“Kok cuma ‘Ooh’?”
“Itu semua memang kembali kepada motif kenapa mereka punya Facebook.”
“Nah, itu dia. Kalau ane tanya, Ente punya Facebook buat apa?”
“Kebutuhan diri, eksistensi.”
“Sebetulnya kalau untuk eksistensi, kurang tepat juga Ente pilih Facebook. Toh ane yakin, teman-teman Ente di Facebook adalah teman-teman Ente di kampus juga kan? Setiap hari ketemu di kampus, kenapa juga punya Facebook?”
“Betul juga. Tapi bagaimana kalau mau komunikasi saat nggak ketemu di kampus?”
“Kan bisa lewat HP atau email. Atau kalau mau lebih kongkret, ya jauhlah aja. Datengin tuh rumahnya.”
“Betul juga. Kalau Ente punya Facebook kenapa?”
“Untuk berbaur dengan teman-teman, dong. Agar tidak eksklusif. Dakwah itu kan tidak boleh eksklusif.”
“Memang, tapi saking eksklusifnya, jangan sampai jadi alay. Ane perhatikan isi status saudara-saudara kita begitu. Kalau yang ikhwan, paling nggak jauh tentang akhwat atau kebelet nikah melulu. Kalau akhwat, ya paling curhat abis makan ini, abis kerjain itu, abis mikirin anu, abis ngurusin ono. Macem-macem dah tingkahnya.”
“Oh, begitu ya? Hehe. Hm, kalau soal akhwat itu lain, akh. Itu adalah sebuah azzam yang memang harus kita niatkan sejak dini.”
“Azzam sih azzam. Tapi salah tempat, akh. ‘Afwan nih ya, nikah itu bukan untuk dibicarakan, tapi disiapkan! Kalau udah siap, gak usah banyak omong, langsung khitbah dong.”
“Belum pede kali, akh. Hehe.”
“Kalau inklusif disalahartikan, jadinya malah bisa kebablasan, akh. Yang ane kuatirkan adalah, kalau begini terus, izzah Islam malah jadi taruhannya. Setiap online, saudara-saudara kita actionnya nggak penting melulu, seperti curhat, ngomongin hal-hal yang sebetulnya tidak untuk dipublikasikan, atau bahkan berujung pada pembukaan aib sendiri atau aib orang lain.”
“Mungkin menurut Ente nggak penting, tapi bagi mereka itu penting, akh.”
“Hm, ane maklum, akh. Itu memang wajar kalau sebagai manusia ingin diperhatikan. Tapi ini juga soal umat, akh. Mereka butuh contoh atau keteladanan. Kalau kita-kita, yang notabene aktivis dakwah malah kurang bisa jadi contoh dan kurang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, lantas apa bedanya kita yang sudah tarbiyah dengan mereka yang belum tarbiyah?”
“Wah, muka Ente serius banget, akh.”
“Tuh kan muka lagi.”
“Betul juga. Terus, menurut Ente bagaimana?”
“Punya Facebook, kalau nggak untuk dakwah, mendingan nggak usah!”
“Mantap! Ane suka nih ikhwan yang kaya begini.”
“Idiih…”
“Enak aja. Ane normal, akh. Tapi bener kata Ente, ane jadi ingat kata ustadz yang mengutip perkataan Imam Syafi’i.”
“Yang kaya gimana tuh?”
“Tapi ane lupa, akh.”
“Diingat-ingat, dong.”
“Tunggu, biar ane coba ingat-ingat dulu…”
“……”
“Aha! Ane tahu, akh!”
“Nah gitu dong, jadi apa?”
“Ane tahu kalau ane belum ingat, akh.”
“*&*&#$%#@!”
“Tapi secara garis besarnya ane tahu, akh.”
“Buruan deh, sebelum muka ane jadi nggak enak nih.”
“Kalau muka Ente mah emang udah dari tadi…”
“Buruan!”
“Jadi kurang lebih begini: Andai kata Al-Qur’an itu hanya berisi surat Al-‘Ashr, maka sesungguhnya surat Al-’Ashr telah cukup menjadi pedoman seluruh manusia untuk selamat dalam hidup ini.”
“Nah, itu dia. Begitu pula dengan ber-Facebook. Kalau digunakan tidak untuk hal yang bermanfaat, jadinya kita malah merugi deh.”
“Iya, sudah rugi waktu, tenaga, pikiran, biaya, dan jelas itu juga merugikan orang lain.”
“Kok bisa merugikan orang lain?”
“Secara umum, orang lain jadi rugi karena capek-capek baca hal-hal yang nggak penting dari kita. Lalu orang tua juga jadi rugi, karena listrik di rumah dan uang yang kita pegang itu kan masih pemberian orang tua. Eh kita buat yang begituan. Sayang banget.”
“Tumben Ente bijak, akh.”
“Dari dulu kali.”
“Eh, by the way, jam berapa sekarang, akh?”
“Hm, jam 13.58 WIB. Kenapa? Ente ada kelas lagi?”
“Iya, ane ada kelas Metodologi Penelitian. Dosennya disiplin. Ane nggak boleh telat, akh. Yaudah, ane pamit dulu ya. Syukron nih udah nemenin ngobrol.”
“Iya, akh. ‘Afwan. Sukses ya! Lain kali kita ngobrol lagi. Ok?”
“Siip. Wassalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam.”
Hening. Angin sesekali bergerak mengusir panas kala itu. Sebagian mahasiswa di masjid ada yang pergi, kemudian ada yang datang kembali. Sementara geliat kampus masih seperti sedia kala, hingga turut membawa senja tiba. Akh Afik, yang kala itu sedang di warnet, membuka Facebook-nya dan tiba-tiba mendapati status terbaru akh Simun: Dosen met-lit galak banget sih! Masa telat semenit nggak boleh masuk!?
Akh Afik hanya tersenyum melihat tingkah saudaranya yang satu itu. Kemudian ia gerakkan jarinya dan menulis sebuah status yang entah ia tujukan kepada siapa: Sebentar begini, sebentar begitu, dasar ikhwan labil!
Keyword: dialog, ikhwan, labil, stabil
No comments:
Post a Comment